Kerajaan-kerajaan
seperti: Luwu, Bone, Wajo dan Gowa mempunyai susunan pemerintahan
sendiri-sendiri. Susunan pemerintahan kerajaan-kerajaan itu berbeda-beda
dan tidak sama keadaannya. Kerajaan Gowa
diperintah oleh seorang raja yang disebut Sombaya. Selain dari raja Gowa
yang pertama, tahta Kerajaan Gowa tidak pernah diduduki oleh seorang
wanita. Raja Gowa yang pertama disebut “Tumanurung“,
artinya orang yang turun dari langit atau ka¬yangan. Menurut cerita
yang tersebut dalam buku Sejarah Gowa, Tumanurung turun dari langit.
Karena baginda turun di daerah Tamalate di Gowa, maka baginda sering
pula disebut Tumanurunga ri Tamalate, artinya orang yang turun di
Tamalate. Jadi sungguh¬pun raja Gowa yang pertama adalah seorang wanita,
namun setelah baginda wafat, tidak pernah lagi tahta Kerajaan Gowa
diduduki oleh seorang wanita. Rupanya sejak itu seorang wanita tidak
dapat menduduki tahta Kerajaan Gowa.
Lain
halnya di Kerajaan Luwu atau di Kerajaan Bone. Seorang wanita dapat dan
berhak menduduki tahta Kerajaan. Demikianlah misalnya Kerajaan Bone
mengenal beberapa orang raja atau raja pe¬rempuan yang terkenal di dalam
sejarah. Kita sebutkan antara lain: We Banrigau Daeng Marowa Arung
Majang (ratu Bone yang keempat), we Tenrituppu Matinroe ri Sidenreng
(ratu Bone yang kesepuluh), Batari Toja Arung Timurung, I Maning Aru
Data Matinroe ri Kassi (raja Bone ke-25) dan Basse Kajuara Palaengngi
Passempe.
Seorang raja Gowa yang paling dikehendaki dan yang paling memenuhi
syarat, adalah yang disebut Karaeng Ti’no (Karaeng = raja, Ti’no = masak
atau matang) . Karaeng Ti’no di Gowa ialah seorang yang baik ayah
maupun Ibunya berdarah bangsawan tertinggi dan harus seorang keturunan
langsung dari Tumanurunga ri Tamalate (Ratu atau raja Gowa yang
pertama).
Raja Gowa mempunyai kekuasaan yang mutlak (absolut). Betapa
mutlaknya kekuasaan raja Gowa dapatlah kita gambarkan pada sebuah
kalimat dalam bahasa Makassar : “ Makkanama’ Numammio’”
yang artinya : “Aku berkata dan engkau mengiyakan”. Maksudnya, Aku
bertitah dan engkau hanya mengiyakan saja. Jadi segala titah atau
perintah raja Gowa harus ditaati dan dipatuhi. Segala kata-kata raja
Gowa harus dilaksanakan, tidak boleh dibantah sedikit pun. Begitu
mutlaknya ke¬kuasaan seorang raja Gowa.
Seperti dikatakan tadi, calon raja Gowa yang paling disenangi dan
yang paling memenuhi syarat ialah apa yang disebut seorang dari golongan
atau tingkatan “karaeng ti’no” artinya baik ayah ibunya adalah berdarah
bangsawan tertinggi dan seorang keturunan langsung dan Tumanurunga ri
Tamalate, raja Gowa yang pertama.Calon atau putera raja yang demikian
itu disebut “ana Pattola” artinya “anak pengganti raja” (mattola = mengganti, menggantikan; pattola = pengganti).
Ada dua macam atau dua cara pelantikan raja Gowa yang pertama disebut “Nilanti’
(dilantik) dan yang kedua disebut “nitogasa” (ditugaskan). Jikalau
calon raja itu seorang karaeng Ti’no, anak pattola sejati, maka ia akan
“nilanti”. Akan tetapi jikalau calon raja itu bukan seorang Karaeng
Ti’no, bukan anak pattola sejati, maka ia hanya “nitogasa”.
Upacara penobatan raja Gowa yang disebut “nilanti” dilakukan di
tamalate. Upacara ini dilakukan di atas sebuah batu yang menurut riwayat
adalah tempat Tumanurunga turun dari langit. Upacara pelantikan yang
disebut “nitogasa” dilakukan di depan istana saja. Tentu saja upacara
“nilanti” lazimnya lebih megah, meriah dan lebih besar sifatnya dari
pada upacara “nitogasa”.
Dalam menjalankan pemerintahan raja Gowa dibantu oleh beberapa orang pembesar atau pejabat kerajaan, antara lain: :
1. Pabbicara butta. Arti sebenamya, ialah juru bicara tanah atau juru bicara negeri.
2. Tumailalalang Towa (tu = orang; ilalang = dalam; towa = tua).
3. Tumailalang-Iolo (Tu = orang; ilalang = dalam; lolo = muda).
Di samping itu raja Gowa dibantu oleh sebuah lembaga “perwakilan rakyat” yang disebut “Bate Salapanga”
(bate = panji, bendera; salapang = sembilan). Jadi bate salapanga
berarti pemegang bendera atau pembawa panji yang sembilan orang.
Mula-mula lembaga ini disebut “Kasuwiang Salapanga”
(kasuwiang = mengabdi; salapang = sembilan). Jadi kasuwiang salapanga
berati pengabdi yang sembilan orang. Lembaga “kasuwiang salapanga” yang
kemudian menjadi “bate salapanga” ini memang terdiri atas sembilan orang
anggota.
Keterangan lebih lanjut tentang para pembantu raja ini sebagai berikut:
1. Pabbicara butta
Adalah orang kedua sesudah raja Gowa. Jadi jabatan pabbicara butta
dapat disamakan dengan perdana menteri, mahapatih atau mangkubumi
Kerajaan Gowa. Seperti kita ketahui di dalam Sejarah Gowa, pada masa
pemerin¬tahan raja Gowa yang ke-9 bemama Tumapa’risi Kallonna, Kerajaan
Gowa dan Kerajaan Tallo disatupadukan kembali. Penyatuan kedua Kerajaan
itu dikuatkan oleh ucapan sumpah raja-raja dan para pem¬besar kedua
kerajaan itu. Sumpah itu di dalam bahasa Makasar ber¬bunyi: “Ia Iannamo
Tau Ampassi Ewai Gowa-Tallo Iamo Nacalla Re¬wata”. artinya: “Siapa-siapa
saja yang mengadudomba Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, maka orang itu
akan dikutuk oleh dewata”.
Sejak itulah Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo, terutama dalam
hubungan keluar, merupakan satu kerajaan yang bersatu. Betapa kokoh¬nya
perpaduan antara kedua kerajaan bersaudara itu dapat kita lihat dalam
ungkapan bahasa Makasar: “Rua Karaeng Se’re Ata”,
artinya: “Dua raja namun satu hamba”. Maksudnya, dua raja memerintah
atas rakyat yang tetap satu. Sejak itu pulalah raja Tallo dan keturunan
pengganti baginda pada lazimnya diangkat menjadi pabbicara butta atau
mangkubumi Kerajaan Gowa.
Pabbicara
butta atau mangkubumi Kerajaan Gowa yang merangkap menjadi raja Tallo
dan yang terkenal di dalam sejarah, antara lain ialah:
a. Karaeng Matoaya
Terkenal dengan nama dan gelar Sultan Abdullah Awalul Islam
Tumenanga ri Agamana. la adalah raja dl Sulawesi Selatan yang mula-mula
sekali memeluk agama Islam. Yang mengislamkan ialah Khatib Tunggal Abdul
Makmur yang juga lebih dikenal oleh orang-orang di Sulawesi-Selatan
dengan gelarnya Dato ri Bandang.
Ada tiga orang yang terkenal sebagai penyebar agama Islam di
Sulawesi Selatan. Yang pertama ialah Khatib Tunggal alias Dato’ ri
Bandang. la bersama dua orang temannya lagi, yakni Khatib Sulai¬man yang
juga terkenal dengan gelarnya Dato’ ri Patimang dan Khatib Bungsu yang
kemudian terkenal pula dengan gelarnya Dato’ ri Tiro karena ia wafat di
Desa Tiro. Khatib Tunggal alias Dato’ ri Bandang ini adalah seorang
ulama yang berasal dari Kota Tengah di Minangkabau (Sumatra Barat). Oleh
karena itu ia diberi gelar Dato’. Gelar ini berasal dari gelar
orang-orang Minangkabau “Datuk”.
Karaeng Matoaya memeluk agama Islam pada tanggal 9 Jumadil awal
tahun 1014 Hijrah atau tanggal 22 September 1605. Oleh ka¬rena baginda
adalah raja yang mula-mula sekali memeluk agama Islam di Sulawesi
Selatan, maka baginda mendapat gelar Sultan Abdullah Awalul Islam. Ia
terkenal sangat taat pada agamanya (agama Islam). Oleh karena itu,
setelah ia wafat pada tanggal 10 Oktober 1636 di Tallo, mendapat gelar
Anumerta Tumenanga ri Agamana, artinya: raja atau orang yang wafat dalam
agamanya. Ada juga yang menyebut Tumenanga ri Tappa’na, artinya raja
atau orang yang wafat dalam kepercayaannya. Ialah yang berjasa mengajak
kemenakannya yakni Sultan Alauddin raja Gowa yang ke-14 untuk masuk
agama Islam.
Tidak lama kemudian agama Islam telah menjadi agama keraja¬an di
Gowa. Sembahyang Jum’at yang pertama di Tallo diadakan pada tanggal 9
Nopember 1607 atau tanggal 19 bulan Rajab, tahun 1016 Hijriah. Setelah
Kerajaan Gowa dan Kerajaan Tallo menjadi Kerajaan Islam dan raja-rajanya
telah memperoleh gelar sultan, kedua Kerajaan itu menjadi pusat
penyebaran agama Islam di seluruh daerah Sulawesi Selatan. Dalam hal ini
Karaeng Matoaya ,alias Sultan Abdullah Awwalul Islam, raja Tallo yarng
ke-6, merangkap sebagai tumabbicara butta Kerajaan Gowa, sangat besar
sekali jasanya.
b. Karaeng Pattingalloang,
Raja Tallo yang ke-8 yang menjabat pula sebagai pabbicara butta
Kerajaan Gowa pada zaman pemerintah¬an raja Gowa yang ke-15 bernama
Sultan Muhammad Said Tumenanga ri Papambatunna.
Karaeng
Pattingaloang terkenal sebagai seorang yang cendekia dan menguasai
serta mahir berbahasa beberapa bahasa asing. Karaeng Pattingaloang
terkenal pula dengan nama dan gelar baginda Sultan Mahmud Tumenanga ri
Bontobiraeng.
Pabbicara butta biasa pula menjadi wali dan pemangku raja jikalau
putra. mahkota atau raja masih belum mencapai usia untuk me¬megang
sendiri tampuk pemerintahan. Pabbicara butta mempunyai pengaruh dan
kekuasaan yang besar sekali. Jikalau raja belum men¬capai usia dewasa,
maka pabbicara buttalah yang memerintah atas nama raja Gowa. Pada
rnulanya jabatan pabbicara butta diadakan ka¬rena putra mahkota atau
raja Gowa masih belum dewasa. Kemudian jabatan pabbicara butta tetap ada
meskipun raja sudah dewasa dan memegang sendiri pemerintahan. Tugas
pabbicara butta di dalam ba¬hasa Makasar sering pula disebut
“MabbaIigau” artinya membantu (raja Gowa) memerintah atau pasangan dalam
memerintah. Demi¬kianlah sejak dari batara Gowa menjadi raja Gowa ke-7
dan Karaeng Loe ri Sero menjadi raja Tallo yang pertama raja-raja Tallo
selalu menjadi Baligau (patih) raja Gowa.
2. Tumailalang Towa.
la adalah seorang pejabat atau pembesar kerajaan yang menyampaikan
dan meneruskan segala perintah raja Gowa kepada bate salapanga, kepada
para kepala distrik atau kepala wilayah, kepada para bate anak karaeng
dan lain-lain. la menjaga pula agar supaya segala perintah raja Gowa
dilaksanakan sungguh-sungguh. Ia sering pula memimpin sidang-sidang yang
diadakan untuk membicarakan soal-soal yang sangat penting sifatnya.
Tumailalang towalah yang menyampaIkan kepada sidang tersebut segala
kehendak dan titah raja Gowa. Segala keputusan, saran-saran atau
pesan-pesan raja Gowa disampaikan oleh tumailalang towa.
3. Tumailalang Lolo.
Pejabat atau pembesar kerajaan ini selalu berada di dekat raja
Gowa. Beliau inilah yang menerima usul-usul dan permohonan untuk
disampaikan kepada raja Gowa. Ia menerus¬kan segala perintah raja Gowa
mengenai soal-soal rumah tangga is¬tana. Di dalam masa perang beliau
sering bekerja bersama dengan panglima pasukan-pasukan Kerajaan Gowa
yang disebut “anrong¬guru-lompona-tumak-kajannangnganga”. Mereka sering
membicarakan dan merencanakan segala soal yang bersangkut-paut dengan
soal peperangan.
Jabatan tumailalang towa dan tumailalang lolo diangkat dan di¬pecat
oleh raja Gowa. Ada juga yang mengatakan bahwa tumailalang towa dan
tumailalang lolo yang menghubungkan secara timbal balik antara
pemerintah atau raja Gowa dan rakyat Gowa yang diwakili oleh bate
salapanga.
Dahulu
kedua fungsi itu dipegang oleh pacallaya, lalu oleh Tumailalang (orang
yang di dalam). Jadi mula-mula tumailalang yang menggantikan kedudukan
paccallaya hanya ada satu orang saja. Kemudian dijadikan dua orang,
yakni tumailalang towa dan tumai¬lala lolo. Fungsinya pun dipecah
menjadi dua,
yakni
: Hubungan dari raja Gowa ke bate salapanga dipegang oleh tumailalang
towa se¬dang hubungan dari batesalapanga ke raja Gowa harus melalui
tu¬mailalang lolo. Jadi dengan demikian bate salapanga dapat disamakan
.dengan parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat.
4. Bate Salapanga.
Seperti yang sudah dikatakan tadi, lembaga Ini terdiri dari
sembilan orang anggota. Tiap anggota bate salapanga adalah kepala
pemerintahan di wilayah yang merupakan federasi Gowa. Dahulu Gowa
merupakan suatu federasi yang terdiri dari sembilan buah negeri atau
daerah. Tiap-tiap negeri atau daerah itu di kepalai oleh seorang
penguasa yang merupakan raja kecil. Sembilan orang penguasa itulah yang
mula-mula menjadi anggota Hadat Gowa yang disebut Bate Salapanga. Ketua
dari bate salapanga disebut pacallaya.
Menurut Sejarah Gowa, dahulu sebelum ada raja di Gowa, Gowa terdiri
atas sembilan buah negeri atau daerah yang masing-masing dikepalai oleh
seorang penguasa. Mereka ini merupakan raja-raja kecil di kesembilan
negeri itu.
Negeri-negeri itu ialah:
Tombolo’, Lakiung, Saumata, Parang-Parang, Data’, Agang Je’ne’, Bisei, KalIi’ atau KaIling dan Sero’.
Kemudian kesembilan penguasa atau raja-raja keeil itu membentuk
sebuah gabungan atau federasi. Gabungan ini diketuai oleh seorang
pejabat yang disebut paccallaya.
Beliau inilah yang bertindak sebagai ketua pemerintahan gabungan atau
federasi Gowa. Paccallaya ini merupakan “ketua dewan” yang terdiri dari
penguasa-penguasa yang bergabung itu. Paccallaya juga sering bertindak
sebagai hakim tertinggi, apabila terjadi sengketa atau pertentangan di
antara penguasa-penguasa yang bergabung dalam federasi Gowa itu.
Penguasa-penguasa itu berdiri sendiri dan bebas mengatur pemerintahan di
dalam daerahnya masing-masing.
Entah berapa lamanya pemerintahan gabungan itu berjalan. Pada suatu
waktu paccallaya dan penguasa-penguasa atau raja-raja kecil itu
masyguI. Mereka tidak mempunyai seorang raja. Tetapi mereka juga tidak
mau memilih salah seorang di antara mereka untuk menjadi raja Gowa.
Tidak lama kemudian terdengarlah berita bahwa di sebuah tem¬pat
lain di Gowa ada seorang putri yang turun dari kayangan. Maka paccallaya
bersama kesembilan orang penguasa atau raja-raja kecil itu pun
berangkat menuju ke tempat tersebut. Berita itu ternyata benar.
Paccallaya dan kesembilan orang penguasa itu menemukan seorang wanita
yang cantik. Wanita itu memakai sebuah kalung emas yang sangat indah
buatannya. Siapa nama dan dari mana asal wanita cantik itu tidak
diketahui. Hanya dikatakan bahwa wanita itu turun dari kayangan.
Kemudian wanita itu dinamakan Tumanurunga, artinya orang yang turun dari langit.
Syahdan maka diangkatlah tumanurunga menjadi raja Gowa yang
pertama. Dengan diangkatnya tumanurunga menjadi raja Gowa, maka
kedudukan kesembilan orang penguasa itu mengalami perobahan. Kekuasaan
mereka beralih dan jatuh ke tangan tumanurunga selaku raja atas seluruh
daerah Gowa. Kemudian mereka hanya merupakan “kasuwiang salapanga“.
Artinya pengabdi yang sembilan orang. Jadi mereka merupakan sembilan
orang kepala negeri yang wajib berbakti atau mengabdi kepada raja Gowa.
Kemudian lembaga kasuwiang salapanga ini berubah menjadi “bate salapanga“,
artinya sembilan orang pemegang bendera atau pembawa panji. Kesembilan
orang inilah yang kemudian menjadi anggota Hadat Sembilan kerajaan Gowa.
Adapun lembaga bate salapanga ini sudah kerap kali mengalami
perubahan. Susunannya tidak lagi sarna dengan yang kita sebutkan di atas
tadi. Demikianlah misalnya di sekitar tahun 1900 bate salapanga terdiri
atas: Gallarang Mangngasa, Gallarang Tombolo, Gallarang Saumata,
Gallarang Sudiang, Gallarang Paccellekang, Karaeng Pattallassang,
Karaeng Bontomanai, Karaeng Manuju dan Karaeng Borisallo.
Bentuk
pemerintahan Kerajaan Gowa di bawah pimpinan Tumanurung, yakni raja
Gowa yang pertama, mengandung unsur-unsur demokrasi yang terbatas.
Antara raja Gowa yang pertama (tumanurung) di satu pihak dan paccallaya
bersama kasuwiang salapanga di lain pihak ada dibuat sebuah ikrar atau
perjanjian. Dalam perjanjian itu disebutkan tentang pembagian tugas dan
batas-batas wewenang antara raja yang memerintah di satu pihak dan
rakyat yang di perin¬tah yang diwakili oleh kasuwiang salapanga di lain
pihak.
Dalam ikrar atau perjanjian yang dibuat antara raja Gowa yang
pertama dan kasuwiang salapanga itu dapat dilihat dengan jelas bahwa
pada mulanya pemerintahan Kerajaan Gowa mengandung unsur-unsur demokrasi
yang terbatas. Akan tetapi lambat-laun unsur-unsur demokrasinya menjadi
kabur dan unsur-unsur Kerajaan mutlak (absolute monar¬chie) makin lama
makin menonjol. Raja seolah-olah menguasai seluruh hidup dan matinya
rakyat. Kehendak raja Gowa adalah undang-undang dan tidak boleh
dibantah.
Memang benar ada lembaga perwakilan rakyat yang disebut kasuwiang
salapanga atau bate salapanga, akan tetapi lembaga ini tidak mempunyai
arti yang lebih dari pada apa yang disebut dewan atau majelis sembilan
orang untuk memilih raja. Para anggota bate salapanga itu tidak
mempunyai wewenang untuk membuat undang¬-undang atau
peraturan-peraturan. Mereka tidak mempunyai wewe¬nang untuk menjalankan
pernerintahan di seluruh kerajaan. Mereka harus taat dan menjalankan
segala perintah raja. Bahkan kemudian mereka pun tidak lagi merupakan
badan penasehat. Raja memerintah secara mutlak. Sabda baginda merupakan
undang-undang yang harus ditaati dan dilaksanakan.
Selain jabatan-jabatan yang telah disebutkan tadi, ada lagi
beberapa jabatan penting dalam susunan pemerintahan Kerajaan Gowa yang
perlu juga disebutkan di sini, antara lain:
Anrong-guru-Lompona tumak-kajannangnganga.
Dia inilah yang menjadi panglima pasukan-pasukan Kerajaan Gowa pada
masa ada perang. Pada masa damai beliau ditugaskan menjaga agar
orang-orang mentaati dan melaksanakan segala perintah raja Gowa. Jikalau
ada orang yang membangkang dan dianggap perlu mempergunakan tin¬dakan
kekerasan, maka itu adalah tugas karaeng tumakajannangngang. Ia bertugas
menumpas pemberontakan dan memberantas pengacau-pengacau yang
mengganggu keamanan dalam negeri Kerajaan Gowa. Ia juga bertugas menjaga
keamanan pribadi raja Gowa dan keluarga baginda.
Di bawah anrong-guru-Lompona tumak-kajannangnganga ada lagi jabatan yang disebut “Lomo- tumak-kajannangnganga”.
Sebagai wakil atau pengganti panglima perang ia meneruskan segala
perintah ka¬raeng tumakajannangnganga kepada para bawahannya yang
disebut anronggurunna tumakkajannangnganga. Kemudian ada lagi jabatan penting sebagai pemimpin pasukan yakni
Anrong-Guru-Lompona tu Bontoalaka.
Ia adalah pemimpin tertinggi pasukan-pasukan orang-orang Bontoala.
Perlu diketahui bahwa Bontoala adalah sebuah kampung di bagian timur
Kota Makasar atau Ujung Pandang. Kampung ini merupakan tempat tinggal
orang-orang tawanan perang yang kemudian dimerdekakan dan menjadi rakyat
atau warga Kerajaan Gowa. Mereka ini kemudian mempunyai seorang kepala
atau pemimpin sendiri yang disebut Karaeng Bontoala (karaeng = raja).
Seperti yang akan kita ketahui pula nanti, setelah peperangan antara
Kerajaan Gowa dan VOC berakhir, maka Kampung Bontoala diduduki oleh Aru
Palakka. Di sinilah Aru Palakka tinggal dan kemudian juga wafat. Oleh
karena itu pulalah maka Aru Palakka memperoleh gelar anumerta “matinrowe
ri Bontoala” artinya yang tidur (yang wafat) di Kampung Bontoala.
Di bawah karaeng bontoala atau anrong-guru-lompona tu bontoalaka ada lagi pemimpin-pemimpin orang-orang Bontoala yang disebut anrong-gurunna tu bontoalaka.
Bate-Anak-Karaeng.
Mula-mula daerah kekuasaan “bate anak karaeng” merupakan
daerah-daerah yang bebas dan berdiri sendiri. Kemudian daerah-daerah ini
dikalahkan dan menjadi daerah takluk Kerajaan Gowa, lalu daerah-daerah
itu dihadiahkan oleh raja Gowa kepada salah seorang “anak karaeng” atau
anak raja/anak bangsawan yang mungkin dianggap berjasa. “Anak karaeng”
inilah yang menjadi raja kecil atau penguasa di daerah
“bate-anak-karaeng” itu. Semua orang di daerah itu harus tunduk dan
melaksanakan segala perintah “anak karaeng” yang men¬dapat hadiah dari
raja Gowa itu. Lazimnya mereka yang memperoleh daerah
“bate-anak-karaeng” itu masih berkeluarga dekat juga dengan raja yang
berkuasa. Oleh karena itu maka tidaklah terlalu menghe¬rankan jikalau di
dalam upacara-upacara adat yang resmi para “bate-anak-karaeng” ini
didudukkan di tempat yang terhormat. Bahkan sering di tempat yang lebih
tinggi tingkatnya dari pada para anggota bate salapanga.
Sabannara
Atau syahbandar merupakan pula jabatan yang cukup penting di dalam
Kerajaan Gowa yang merupakan Kerajaan maritim. Sabannara membantu raja
mengurus soal keluar masuknya perahu¬perahu di pelabuhan Kerajaan.
Sabannara ini rnengurus soal pemasukan uang pajak bea dan cukai. Selain
itu sabannara sering ditugaskan mengurus soal pemasukan uang untuk harta
kekayaan raja sendiri. Dahulu Kerajaan Gowa mempunyai dua orang
sabannara, yakni Sabannara Towa dan Sabannara Lolo. Pangkat sabannara
biasanya dijabat oleh se¬orang bangsawan, keturunan atau keluarga raja.
Bahkan semua jabat¬an penting yang sudah kami sebutkan tadi, sedapat
rnungkin dijabat oleh orang-orang bangsawan keluarga raja.
Soal-soal agama, perwakilan dan lain-lainnya diurus oleh syara’ yang dikepalai oleh seorang qadhi. Ia dibantu oleh pegawai-pegawai atau petugas-petugas syara’ seperti : imam, khatib, bilal, doja dan lain-lain.
Selain
jabatan-jabatan yang sudah disebutkan tadi, masih ada lagi beberapa
pangkat atau jabatan yang patut disebutkan pula di sini antara lain:
karaeng, gallarang, anrong guru, jannang, pabbicara, matowa dan
lain-lain. Mereka ini biasanya mengepalai pemerintahan sebuah wilayah
atau daerah.
http://gowakingdom.wordpress.com/2008/12/06/sistem-pemerintahan-kerajaan-gowa-
"Saduran Lontarak Bilangnganna Gowa-Tallo (catatan Kerajaan)"